BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selama beberapa tahun terakhir ini
bangsa Indonesia banyak menghadapi masalah kekerasan, baik yang bersifat masal
maupun yang dilakukan secara individual.Masyarakat mulai merasa resah dengan
adanya berbagai kerusuhan yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia.Kondisi
seperti ini membuat perempuan dan anak-anak menjadi lebih rentan untuk menjadi
korban kekerasan.
Bentuk kekerasan terhadap perempuan
bukan hanya kekerasan secara fisik, akan tetapi dapat juga meliputi kekerasan
terhadap perasaan atau psikologis, kekerasan ekonomi, dan juga kekerasan
seksual. Hal ini sesuai dengan pendapat Hayati (2000) yang mengatakan bahwa
kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun
non-verbal, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, terhadap
seseorang atau sekelompok orang lainnya, sehingga menyebabkan efek negatif
secara fisik, emosional, dan psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya.
Kasus perkosaan yang marak terjadi di Indonesia , menunjukkan bahwa pelaku
tidak hanya menyangkut pelanggaran hukum namun terkait pula dengan akibat yang
akan dialami oleh korban dan timbulnya rasa takut masyarakat secara luas.
Akibat dari ini di Indonesia secara normatif tidak mendapatkan perhatian
selayaknya, hal ini disebabkan oleh karena hukum pidana (KUHP) masih
menempatkan kasus perkosaan ini sama dengan kejahatan konvensional lainnya,
yaitu berakhir sampai dengan dihukumnya pelaku. Kondisi ini terjadi oleh karena
KUHP masih mewarisi nilai-nilai pembalasan dalam KUHP.
Dari sudut pandang ini maka menghukum pelaku menjadi tujuan utama dalam
proses peradilan pidana, oleh karena itu semua komponen dalam proses peradilan
pidana mengarahkan perhatian dan segala kemampuannya untuk menghukum si pelaku
dengan harapan bahwa dengan dihukumnya pelaku dapat mencegah terulangnya tindak
pidana tersebut dan mencegah pelaku lain untuk tidak melakukan perbuatan yang
sama ini dan masyarakat merasa tentram karena dilindungi oleh hukum, seperti
yang ada dalam KUHP pada pasal 285 yaitu “Barang siapa yang dengan kekerasan
atau dengan ancaman memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan
dia, karena perkosaan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas
tahun”
Adapun yang dimaksud dengan tindakan perkosaan adalah tindakan yang
melanggar hukum. Tindakan perkosaan tersebut telah merugikan orang lain yaitu
orang yang telah diperkosa tersebut. Seperti yang sudah ada dalam KUHP Ancaman
hukuman dalam pasal 285 ini ialah pria yang memaksa wanita, dimana wanita
tersebut bukan istrinya dan pria tersebut telah bersetubuh dengan dia dengan
ancaman atau perkosaan.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas apa yang dimaksud dengan tindak pidana
perkosaan. Maka masyarakat harus bisa berhati-hati dan lebih waspada terhadap
tindak pidana perkosaan dan kasus pemerkosaan menjadi masalah yang harus segera
dibenahi di Indonesia agar tidak merusak citra dan moral bangsa Indonesia.
B. Rumusan Masalah
- Apa itu perkosaan ?
- Bagaimana dampak perkosaan terhadap sosial ?
- Bagaimana dampak perkosaan terhadap psikologis?
- Bagaiamana cara penyembuhannya?
C. Tujuan Penulisan
- Untuk mengetahui apa itu perkosaan.
- Untuk mengetahui dampak perkosaan terhadap sosial.
- Untuk mengetahui dampak perkosaan terhadap psikologis.
- Untuk mengetahui cara penyembuhannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Perkosaan
Perkosaan (rape)
berasal dari bahasa latinrapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas,
atau membawa pergi (Haryanto, 1997). Pada jaman dahulu perkosaan sering
dilakukan untuk memperoleh seorang istri. Perkosaan adalah suatu usaha untuk
melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap
perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum
(Wignjosoebroto dalam Prasetyo, 1997). Pendapat ini senada dengan definisi
perkosaan menurut Rifka Annisa Women’s Crisis Center, bahwa yang disebut dengan
perkosaan adalah segala bentuk pemaksaan hubungan seksual. Bentuk perkosaan
tidak selalu persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan
yang melibatkan alat kelamin. Oral seks, anal seks (sodomi), perusakan alat
kelamin perempuan dengan benda adalah juga perkosaan.Perkosaan juga dapat
terjadi dalam sebuah pernikahan (Idrus, 1999).Menurut Warshaw (1994) definisi
perkosaan pada sebagian besar negara memiliki pengertian adanya serangan
seksual dari pihak laki-laki dengan menggunakan penisnya untuk melakukan
penetrasi vagina terhadap korban.Penetrasi oleh pelaku tersebut dilakukan
dengan melawan keinginan korban.Tindakan tersebut dilakukan dengan adanya
pemaksaan ataupun menunjukkan kekuasaan pada saat korban tidak dapat memberikan
persetujuan baik secara fisik maupun secara mental.Beberapa negara menambahkan
adanya pemaksaan hubungan seksual secara anal dan oral ke dalam definisi
perkosaan, bahkan beberapa negara telah menggunakan bahasa yang sensitif gender
guna memperluas penerapan hukum perkosaan. Di dalam Pasal 285 KUHP disebutkan
bahwa:
“barangsiapa
dengan kekerasanatau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan
dia di luarperkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara
paling lamadua belas tahun”.
Berdasarkan
unsur-unsur yang terkandung dalam definisi perkosaan Black’s Law Dictionary (dalam
Ekotama, Pudjiarto, dan Widiartana 2001), makna perkosaan dapatdiartikan ke
dalam tiga bentuk:
1.
Perkosaan adalah suatu hubungan yang dilarang dengan seorang wanita tanpa
persetujuannya. Berdasarkan kalimat ini ada unsur yang dominan, yaitu: hubungan
kelamin yang dilarang dengan seorang wanita dan tanpa persetujuan wanita
tersebut.
2.
Perkosaan adalah persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang
wanita yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita
yang bersangkutan. Pada kalimat ini terdapat unsur- unsur yang lebih lengkap,
yaitu meliputi persetubuhan yang tidak sah, seorang pria, terhadap seorang
wanita, dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita
tersebut.
3.
Perkosaan adalah perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang pria
terhadap seorang wanita bukan istrinya dan tanpa persetujuannya, dilakukan
ketika wanita tersebut ketakutan atau di bawah kondisi ancaman lainnya.
Definisi hampir sama dengan yang tertera pada KUHP pasal 285.
Pada kasus perkosaan seringkali
disebutkan bahwa korban perkosaan adalah perempuan.Secara umum memang perempuan
yang banyak menjadi korban perkosaan.Mereka dapat dipaksa untuk melakukan
hubungan seksual meskipun tidak menghendaki hal tersebut. Apabila mengacu pada
KUHP, maka laki- laki tidak dapat menjadi korban perkosaan karena pada saat
laki-laki dapat melakukan hubungan seksual berarti ia dapat merasakan
rangsangan yang diterima oleh tub uhnya dan direspon oleh alat kelaminnya
(Koesnadi, 1992). Akan tetapi pada kenyataannya ada pula laki- laki yang
menjadi korban perkosaan baik secara oral maupun anal.
B. Macam-macam pemerkosaan
1.
Pemerkosaan saat berkencan
Pemerkosaan saat berkencan adalah hubungan seksual secara
paksa tanpa persetujuan antara orang-orang yang sudah kenal satu sama lain,
misalnya teman, anggota keluarga, atau pacar. Kebanyakan pemerkosaan dilakukan
oleh orang yang mengenal korban.
2.
Pemerkosaan dengan obat
Banyak obat-obatan digunakan oleh pemerkosa untuk membuat
korbannya tidak sadar atau kehilangan ingatan.
3.
Pemerkosaan wanita
Walaupun jumlah tepat korban pemerkosaan wanita tidak
diketahui, diperkirakan 1 dari 6 wanita di AS adalah korban serangan
seksual.Banyak wanita yang takut dipermalukan atau disalahkan, sehingga tidak
melaporkan pemerkosaan. Pemerkosaan terjadi karena si pelaku tidak bisa menahan
hasrat seksualnya melihat tubuh wanita
4.
Pemerkosaan massal
Pemerkosaan massal terjadi bila sekelompok orang menyerang
satu korban.Antara 10% sampai 20% pemerkosaan melibatkan lebih dari 1
penyerang.Di beberapa negara, pemerkosaan massal diganjar lebih berat daripada
pemerkosaan oleh satu orang.
5.
Pemerkosaan terhadap laki-laki
Diperkirakan 1 dari 33 laki-laki adalah korban pelecehan
seksual.Di banyak negara, hal ini tidak diakui sebagai suatu
kemungkinan.Misalnya, di Thailand hanya laki-laki yang dapat dituduh
memperkosa.
6.
Pemerkosaan anak-anak
Jenis pemerkosaan ini adalah dianggap hubungan sumbang bila
dilakukan oleh kerabat dekat, misalnya orangtua, paman, bibi, kakek, atau
nenek.Diperkirakan 40 juta orang dewasa di AS, di antaranya 15 juta laki-laki,
adalah korban pelecehan seksual saat masih anak-anak.
7.
Pemerkosaan dalam perang
Dalam perang, pemerkosaan sering digunakan untuk
mempermalukan musuh dan menurunkan semangat juang mereka.Pemerkosaan dalam
perang biasanya dilakukan secara sistematis, dan pemimpin militer biasanya
menyuruh tentaranya untuk memperkosa orang sipil.
8.
Pemerkosaan oleh suami/istri
Pemerkosaan ini dilakukan dalam pasangan yang menikah.Di
banyak negara hal ini dianggap tidak mungkin terjadi karena dua orang yang
menikah dapat berhubungan seks kapan saja.Dalam kenyataannya banyak suami yang
memaksa istrinya untuk berhubungan seks. Dalam hukum islam, seorang istri
dilarang menolak ajakan suami untuk berhubungan seksual, karena hal ini telah
diterangkan di hadits nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi suami
dilarang berhubungan seksual dengan istri lewat dubur dan ketika istri sedang
haids.
C.
Faktor-faktor terjadinya pemerkosaan
Berikut faktor-faktor terjadinya
permasalahan pemerkosaan adalah sebagai berikut :
1.
Faktor intern yaitu:
a.
Keluarga,
b.
Ekonomi keluarga,
c.
Tingkat pendidikan,
d.
Agama/moral,
2.
Faktor ekstern,meliputi :
a.
lingkungan sosial,
b.
perkembangan ipteks,
c.
kesempatan,
D. Dampak Sosial
Korban
perkosaan dapat mengalami akibat yang sangat serius baik secara fisik maupun
secara kejiwaan (psikologis). Akibat fisik yang dapat dialami oleh korban
antara lain:
1. kerusakan organ tubuh seperti
robeknya selaput dara, pingsan, meninggal;
2. korban sangat mungkin terkena
penyakit menular seksual (PMS);
3. kehamilan tidak dikehendaki.
Perkosaan
sebagai salah satu bentuk kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik
secara halus maupun kasar. Hal ini akan menimbulkan dampak sosial bagi
perempuan yang menjadi korban perkosaan tersebut. Hubungan seksual seharusnya
dilakukan dengan adanya berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari
pasangan yang akan melakukannya. Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak
wajar, apalagi dengan cara paksaan akan menyebabkan gangguan pada perilaku
seksual (Koesnadi, 1992). Sementara itu, korban perkosaan berpotensi untuk
mengalami trauma yang cukup parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan
suatu hal yang membuat shock bagi korban.Goncangan kejiwaan dapat dialami pada
saat perkosaan maupun sesudahnya.Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan
reaksi-reaksi fisik (Taslim, 1995).Secara umum peristiwa tersebut dapat
menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan
suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis (Hayati,
2000). Korban perkosaan dapat menjadi murung, menangis, mengucilkan diri,
menyesali diri, merasa takut, dan sebagainya
E. Dampak Psikologis
Upaya korban untuk menghilangkan
pengalaman buruk dari alam bawah sadar mereka sering tidak berhasil. Selain
kemungkinan untuk terserang depresi, fobia, dan mimpi buruk, korban juga dapat
menaruh kecurigaan terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Ada pula
yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain, berhubungan
seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya kehamilan akibat dari
perkosaan. Bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat
hebat, ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri.
Korban perkosaan memiliki
kemungkinan mengalami stres paska perkosaan yang dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu stres yang langsung terjadi dan stres jangka panjang.Stres yang langsung
terjadi merupakan reaksi paska perkosaan seperti kesakitan secara fisik, rasa
bersalah, takut, cemas, malu, marah, dan tidak berdaya.Stres jangka panjang merupakan
gejala psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang
menyebabkan korban memiliki rasa percaya diri, konsep diri yang negatif,
menutup diri dari pergaulan, dan juga reaksi somatik seperti jantung berdebar
dan keringat berlebihan.Stres jangka panjang yang berlangsung lebih dari 30
hari juga dikenal dengan istilah PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder (Rifka
Annisa dalam Prasetyo, 1997).
Menurut Salev (dalam Nutt, 2001)
tingkat simptom PTSD pada masing-masing individu terkadang naik turun atau
labil.Hal ini disebabkan karena adanya tekanan kehidupan yang terus menerus dan
adanya hal-hal yang mengingatkan korban kepada peristiwa traumatis yang
dialaminya Menurut Shalev (dalam Nutt, 2000) PTSD merupakan suatu gangguan
kecemasan yang didefinisikan berdasarkan tiga kelompok simptom, yaitu experiencing,
avoidance, dan hyperarousal, yang terjadi minimal selama satu bulan
pada korban yang mengalami kejadian traumatik.Diagnosis bagi PTSD merupakan
faktor yang khusus yaitu melibatkan peristiwa traumatis.Diagnosis PTSD
melibatkan observasi tentang simptom yang sedang terjadi dan atribut dari
simptom yang merupakan peristiwa khusus ataupun rangkaian peristiwa.
Selanjutnya definisi PTSD ini berkembang lebih dari hanya sekedar teringat
kepada peristiwa traumatis yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, akan
tetapi juga disertai dengan ketegangan secara terus-menerus, tidak dapat tidur
atau istirahat, dan mudah marah. PTSD yang dialami oleh tiap individu terkadang
tidak stabil.Hal ini disebabkan karena adanya tekanan kehidupan yang terus
menerus dan adanya hal-hal yang mengingatkan korban kepada peristiwa traumatis
yang dialaminya. Para korban perkosaan ini mungkin akan mengalami trauma yang
parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang mengejutkan
bagi korban. Secara umum peristiwa tersebut bisa menimbulkan dampak jangka
pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah
seseorang mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000). Berdasarkan definisi tersebut
maka dapat diambil kesilmpulan bahwa PTSD adalah gangguan kecemasan yang
dialami oleh korban selama lebih dari 30 hari akibat peristiwa traumatis yang
dialaminya.
Dampak jangka pendek biasanya
dialami sesaat hingga beberapa hari setelahkejadian.Dampak jangka pendek ini
termasuk segi fisik si korban, seperti misalnya ada gangguan pada organ
reproduksi (infeksi, kerusakan selaput dara, dan pendarahan akibat robeknya
dinding vagina) dan luka-luka pada bagian tubuh akibat perlawanan atau
penganiayaan fisik.Dari segi psikologis biasanya korban merasa sangat marah,
jengkel, merasa bersalah, malu, dan terhina.Gangguan emosi ini biasanya
menyebabkan terjadinya kesulitan tidur (insomnia), kehilangan nafsu
makan, depresi, stres, dan ketakutan. Bila dampak ini berkepanjangan hingga
lebih dari 30 hari dan diikuti dengan berbagai gejala yang akut seperti
mengalami mimpi buruk, ingatan-ingatan terhadap peristiwa tiba-tiba muncul,
berarti korban mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau
dalam bahasa Indonesianya dikenal sebagai stres paska trauma (Hayati, 2000).
Bukan tidak mungkin korban merasa ingin bunuh diri sebagai pelarian dari
masalah yang dihadapinya.Menurut Freud (dalam Suryabrata, 1995), hal ini
terjadi karena manusia memiliki insting insting mati. Selain itu kecemasan yang
dirasakan oleh korban merupakan kecemasan yang neurotis sebagai akibat dari
rasa bersalah karena melakukan perbuatan seksual yang tidak sesuai dengan norma
masyarakat.
Terkadang korban merasa bahwa hidup
mereka sudah berakhir dengan adanya peristiwa perkosaan yang dialami
tersebut.Dalam kondisi seperti ini perasaan korban sangat labil dan merasakan
kesedihan yang berlarut-larut. Mereka akan merasa bahwa nasib yang mereka alami
sangat buruk. Selain itu ada kemungkinan bahwa mereka menyalahkan diri mereka
sendiri atas terjadinya perkosaan yang mereka alami. Pada kasus-kasus seperti
ini maka gangguan yang mungkin terjadi atau dialami oleh korban akan semakin
kompleks.
Tanda-tanda PTSD tersebut hampir
sama dengan tanda dan simptom yang ada pada depresi menurut kriteria dari American
Psychiatric Association (dalam Davison dan Neala, 1990). Tanda-tanda
tersebut adalah:
1.
sedih, suasana hati depres;
2.
kurangnya nafsu makan dan berat badan berkurang, atau meningkatnya nafsu makan
dan bertambahnya berat badan;
3.
kesukaran tidur (insomnia): tidak dapat segera tidur, tidak dapat
kembali tidur sesudah terbangun pada tengah malam, dan pagi-pagi sesudah
terbangun; atau adanya keinginan untuk tidur terus-menerus;
4.
perubahan tingkat aktivitas;
5.
hilangnya minat dan kesenanga n dalam aktivtas yang biasa dilakukan;
6.
kehilangan energi dan merasa sangat lelah;
7.
konsep diri negatif; menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berguna dan
bersalah;
8. sukar
berkonsentrasi, seperti lamban dalam berpikir dan tidak mampu memutuskan
sesuatu;
9.
sering berpikir tentang bunuh diri atau mati. Menurut Georgette (dalam Warshaw,
1994) sindrom tersebut dialami oleh korban, baik korban perkosaan dengan pelaku
yang dikenal maupun pelaku adalah orang asing.
Hal tersebut akan termanifestasikan
ke dalam rentang emosi dan perilaku yang luas. Korban dapat menunjukkan reaksi
yang terbuka terhadap pengalamannya atau dapat juga mengontrol responnya,
bertindak secara kalem dan tenang. Bagaimanapun juga korban akan mengalami
perasaan takut secara umum ataupun perasaan takut yang khusus seperti perasaan
takut akan kematian, marah, perasaan bersalah, depresi, takut pada laki- laki,
cemas, merasa terhina, merasa malu, ataupun menyalahkan diri sendiri. Korban
dapat merasakan hal tersebut secara bersama-sama dalam waktu dan intensitas
yang berbeda beda.
Korban dapat juga memiliki keinginan
untuk bunuh diri. Sesaat setelah korban terlepas dari perkosaan mungkin ia akan
merasakan suatu kelegaan untuk sesaat karena sudah terlepas dari suatu
peristiwa yang sangat mengancam. Akan tetapi setelah peristiwa tersebut maka
korban akan mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi ataupun memfokuskan
pemikirannya untuk menampilkan tugas yang sederhana. Korban akan merasa gugup,
gelisah, mudah terganggu, mengalami goncangan, menggigil, nadi berdebar secara
kencang, dan badan terasa panas dingin. Korban juga dapat mengalami kesulitan
tidur, kehilangan nafsu makan, mengalami gangguan secara medis, diantaranya
mungkin berhubungan langsung dengan penyerangan yang dialaminya.
F. Alternatif Penyembuhan
Proses penyembuhan korban dari
trauma perkosaan ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Dukungan ini
diperlukan untuk membangkitkan semangat korban dan membuat korban mampu
menerima kejadian yang telah menimpanya sebagai bagian dari pengalaman hidup yang
harus ia jalani (Hayati, 2000). Korban perkosaan memerlukan kawan bicara, baik
teman, orang tua, saudara, pekerja sosial, atau siapa saja yang dapat
mendengarkan keluhan mereka.
G.
Upaya Penanggulangan Pemerkosaan
Upaya-upaya yang harus dilakukan untuk
menanggulangi masalah pemerkosaan adalah sebagai berikut :
a.
Melakukan razia dan memberikan penyuluhan kepada masyarakat serta membrantas
peredaran VCD ,majalah, poster, internet yang mengandung pornografi dan
pornoaksi.
b.
Melakukan pembinaan mental spritual yang mengarah pada pembentukan moral baik
bagi pelaku, korban maupun masyarakat, secara langsung dan melalui mass media
c.
Pemerintah , LSM, masyarakat pers, memberikan pelayanan terpadu khususnya bagi
korban, pelaku maupun saksi serta mengoptimalkan rumah aman.
d.
Menanamkan sikap dan perilaku kehidupan keluarga dan lingkungan masyarakat yang
sesuai dengan nilai-nilai moral, budaya, adat istiadat dan ajaran agama
masing-masing.
e.
Memberikan perhatian khusus bagi peningkatan
sumber daya manusia (SDM) perempuan melalui sektor penididikan, sehingga mereka
memiliki ketahanan diri, mandiri dan mampu mengatasi setiap persoalan
kehidupan.
f.
Masyarakat bersama pihak terkait
lainnya harus pula melakukan kontrol dan membendung maraknya pornografi dan
pornoaksi melalui media massa
g. Pemerintah, Organisasi Kewanitaan, Organisasi Kepemudaan,
LSM, Penegak Hukum, Legislatif dan lainnya, memberikan pemahaman dan sadar
hukum, khususnya yang berhubungan dengan tindak asusila kepada semua lapisan
masyarakat yang ditindaklanjuti dengan penegakan hukum sesuai ketentuan
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkosaan sebagai salah satu bentuk
kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik secara halus maupun kasar.
Pemerkosaan terjadi tidak semata-mata karena ada kesempatan, namun pemerkosaan
dapat terjadi karena pakaian yang dikenakan korban menimbulkan hasrat pada
sipelaku untuk melakukan tindakan pemerkosaan, serta pemerkosaan bisa juga
disebabkan karena rendahnya rasa nilai, moral, asusila dan nilai kesadaran
beragama yang rendah yang dimiliki pelaku pemerkosaan. Hal ini akan menimbulkan
dampak sosial bagi perempuan yang menjadi korban perkosaan tersebut.
Bentuk kekerasan terhadap perempuan
bukan hanya kekerasan secara fisik, akan tetapi dapat juga meliputi kekerasan
terhadap perasaan atau psikologis, kekerasan ekonomi, dan juga kekerasan
seksual. Kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku, baik verbal
maupun non-verbal, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang,
terhadap seseorang atau sekelompok orang lainnya, sehingga menyebabkan efek
negatif secara fisik, emosional, dan psikologis
B. Saran
Pemerkosaan di Indonesia termasuk masalah yang harus segera di benahi oleh
kita semua karena sebagaimana kita ketahui bahwa tindak pemerkosaan dapat
merusak citra dan moral bangsa.
Maka dari itu pemerintah dan masyarakat harus bekerja keras dalam
menaggulangi tindak pidana pemerkosaan salah satunya dengan menanamkan sikap dan perilaku kehidupan keluarga dan
lingkungan masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai moral, budaya, adat
istiadat dan ajaran agama masing-masing serta menindaklanjuti dengan penegakan
hukum sesuai ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
DAFTAR
PUSTAKA
Abar, A. Z & Tulus Subardjono. 1998. Perkosaan dalam
Wacana Pers National, kerjasama PPK & Ford Foundation. Yogyakarta.
Davison, G. C, and Neale, J. M. 1990.Abnormal Psychology.
New York: John Wiley & Sons.
Harkrisnowo, H. 2000. Hukum Pidana Dan Perspektif
Kekerasan Terhadap Perempuan Indonesia.Jurnal Studi Indonesia Volume 10 (2)
Agustus 2000.
Haryanto.1997. Dampak Sosio-Psikologis Korban Tindak
Perkosaan Terhadap Wanita. Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas
Gadjah Mada.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar